Saat yang ditunggu-tunggu datang. Bukan, soal saat gajian, tapi saat me-review headphone yang selama ini sebenarnya sudah menemani kerja. Gara-gara sering digunakan, justru lupa mereview pelantang suara yang selama ini setia nempel di kuping.
“Bermain” dengan headphone memang bukan hal baru. Sudah bertahun-tahun, saya mencintai perangkat elektronik ini. Maklum, kuping saya termasuk kuping yang “rewel” jika berhubungan dengan resonansi suara yang masuk ke dalamnya.
Berbagai jenis headphone, earphone, on ear, ataupun in ear phone sudah pernah saya coba. Kalau untuk barang mahal yang tak terjangkau kantong, kata “pinjam donk” adalah litani yang sering keluar dari mulut. Tak apa, yang penting saya dapat merasakan sensasi headphone yang harganya mungkin hampir setara dengan motor bebek seken.
Jika masih terbeli – tanpa mengalahkan urusan dapur – headphone pun mampir ke rak koleksi. Intinya, apapun saya “jabanin” buat memanjakan kuping, mulai dari menabung untuk mendapatkan merek terkenal, seperti Senn**, Jb*, atau Shu**, hingga mencoba produk rewired earphone, earphone yang diganti kabelnya untuk mendapatkan sensasi suara yang lebih bagus.
Kejutan Suara Headphone Pekgoceng
Sebagai salah satu pecinta headphone, gengsi donk menggunakan produk yang dapat “merusak” citarasa pendengaran. Hingga suatu ketika, “kesombongan” itu runtuh saat seorang teman menyodori headphone untuk dicoba. “Hmmm, headphone apakah ini? Sepertinya kok ngga bonafide,” begitu kata saya dalam hati.
Seperti biasa, jenis musik yang kerap saya gunakan untuk mencoba headphone atau earphone adalah audiophile berformat FLAC. Tujuannya jelas, agar suara yang dihasilkan detil. Sebuah headphone yang bagus pasti bisa memproduksi detil suara itu secara sempurna.
Semenit, dua menit, hingga lima belas menit saya mencoba headphone itu. Telinga ini serasa dimanjakan. Suara yang disemburkan sangat terkontrol. Spasialnya pun lumayan disiplin sehingga antara suara bas, vokal, dan suara tinggi tidak saling timpa.
“Wah, enak,” begitu reaksi saya spontan. Dan, setelah saya lihat, ternyata merek headphone itu adalah Rexus X1. Otomatis, saya menanyakan harganya. Saya berpikir, headphone dengan kualitas seperti itu harganya dibanderol di kisaran 500 ribu.
“179 ribu,” kata teman itu. Heh, kagak salah dengar? Benar, 179 ribu. Dan karena waktu itu ada promo dari salah satu toko online, harganya kena sekitar 150 ribu. Gila, Ndro! Menurut saya, untuk harga segitu, kualitas headphone ini jelas di atas harganya.
Tak tunggu lama, saya pun langsung pesan. Ada tiga pilihan warna: hitam, biru, dan pink. Tentu, pilihan terakhir itu tidak mungkin saya pilih. Jadi, saya pun memilih warna hitam.
Cocok untuk “Bass Head”
Dalam paket pembelian, headphone ini memang tidak menyertakan kabel dengan jack 3.5mm karena menggunakan konektivitas Bluetooth. Tapi, dalam headphone ini terdapat colokan 3,5mm sehingga saya tinggal beli kabel custom 3,5mm cowok ke cowok. Dengan begitu, untuk kemampuan koneksi Bluetooth-nya saya tidak bisa bicara banyak.
Setelah “di-burning” selama lebih dari 24 jam, driver headphone ini yang berdiameter 40mm mulai terasa lebih fleksibel sehingga suara yang dikeluarkannya pun jadi lebih empuk.
Saat memutar “Pizza”-nya Martin Garrix, suara violin di pembuka tetap terdengar jernih. Begitupun ketika suara bas dengan beat yang ritmik mulai menghentak, kuping tetap bisa menikmati, tidak terasa pekak.
Semburan bas yang dikeluarkan lumayan dalam. Meski dalam spesifikasinya tertulis bahwa nada rendahnya masih di kisaran 20Hz, tapi menurut saya, range-nya bisa lebih rendah lagi, di kisaran 16 atau 18Hz. Karenanya, buat penggemar bas atau bass head, saya yakin kuping kalian sangat welcome dengan headphone ini.
Bagaimana dengan suara vokalnya? Saya pun tertarik mencerna kekhasan vokal Adam Young (Owl City) dalam lagu terbarunya, New York City. Hmm… lumayan. Vokalnya terdengar utuh, tidak termakan suara bas. Suara tingginya pun cukup, tak memekakkan telinga.
Ini Headphone, Bro. Bukan Gaming Headset
Pengalaman bersama X1 yang sampai saat ini masih menempel di kuping memantapkan saya membuat pernyataan bahwa ini adalah headphone murni. Saya kurang rela jika headphone ini dikategorikan dalam gaming headset, meski headphone ini dilengkapi dengan microphone dan dapat berfungsi untuk menangkap sinyal suara.
Pernyataan itu saya kira cukup beralasan. Jika digolongkan sebagai sebuah gaming headset, microphone X1 terlalu minimalis. Hanya berupa lubang yang ada di sekitar dome headphone.
Hal itu tentu kurang ideal digunakan sebagai gaming headset. Kalau untuk gaming headset, HX20, HX25, atau F85 pasti lebih ideal.
Tapi, untuk pencinta musik, saya kira Rexus X1 jadi salah satu pilihan yang takkan malu-maluin saat disandingkan dengan koleksi headphone kelas atas lainnya.
Gara-gara headphone Rexus X1 ini, saya jadi makin yakin bahwa ternyata headphone “Kere Hore” itu memang benar-benar ada. Bukan sekedar gimmick…